Pada zaman
dahulu di Desa Lantung aimual, Kecamatan Ropang hiduplah seorang gadis cantik
yang bernama Lala Ila. Ia adalah puteri dari Dea ilung. Kecantikannya, tidak
hanya dibicarakan orang di sekitar Desa Lantung tetapi juga hingga Sumbawa
Besar. Kecantikan Lala Ila. termasyhur ke segenap penjuru. Wajah dan pribadinya
mengagumkan. Tiada cacat sedikitpun. Sewaktu kecil ia telah dipertunangkan
dengan Lalu Mangi putera Raden Mangi, yang tinggal di kampung Kalempet .
Sumbawa. Antara mereka terdapat hubungan darah walaupun agak jauh. Oleh
karena itu mereka ingin mempererat hubungan itu. Maka dipertunangkanlah Lala
Ila dan Lalu Mangi. Melalui hal inilah hubungan keluarga , yang telah jauh
menjadi dekat kembali. Ketika usia mereka meningkat. remaja kedua anak itu
tidak mengetahui pertunangan mereka. Orang tua mereka tidak pernah
menceriterakannya.
Apabila
Lalu Mangi bepergian ia selalu ditemani oleh Salampe, anak angkat Raden Mangi.
Salampe adalah orang kepercayaan keluarga Raden Mangi. Setiap bangun tidur,
Salampe terus ke sungai memandikan kuda dan membersihkan kandang kuda. Setelah
itu menyabit rumput, kemudian memperbaiki kebun dan mengambil kayu api.
Akhirnya melayani dan menemani Lalu Mangi bepergian itulah pekerjaan Salampe
setiap hari.
Pada suatu malam Salampe dan Lalu Mangi berjanji untuk
pergi berburu. Keesokan harinya dengan tergesa-gesa Salampe menaiki tangga
rumah panggung itu dan langsung memasuki kamar Lalu Mangi. Lalu Mangi masih
tidur.
“Lalu, Lalu bangunlah, matahari telah terbit.”
Salampe membangunkan anak muda itu sambi!
menggoyang-goyangkan badannya.
“Mengapa kau bangunkan aku, aku masih mengantuk.”
“Ah lain kali saja. Aku masih mengantuk dari hari ini
badakku tidak’ sehat;” jawab Lalu’ ‘Mangi sambil menggeliatkan badan. Tadi
malam ia pergi mendengarkan’ Sekeco. ke “desa Samapuin sambil menyaksikan
upacara perkawinan ditempat itu. Itulah sebabnya pada hari itu Lalu Mangi terlambat bangun.
“Ada yang
ingin kutanyakan Salampe’
“Tentang apa Lalu.”
“Mungkin kau pernah mendengar nama Lala Ila gadis di
desa Lantung Aimilal itu
“Ya’, saya dengar Lalu. Semua orang mengatakan wajah
gadis itu seperti wajah bidadari.”
“Duh cantiknya. Ingin sekali aku memandang
wajah itu. Bagaimana kalau kita pergi ke desa Lantung, Salampe.”
“Bagi saya
tak ada suatu halangan. Apa kata Lalu, saya mengikutinya.”
“Bagaimana
kalau kita berangkat esok subuh?”
“Baiklah
Lalu. Sebaiknya kita berangkat sebelum fajar menyingsing.”
“Mudah-mudahan
kita tidak ditimpa musibah di negeri orang. “Niat baik dilindungi oleh Tuhan
Yang Maha Esa.
Sebelum
tidur Salampe memberitahu kepada Raden Mangi dan istrinya ten tang rencana
perjalanan itu. Raden Mangi menerima dengan baik rencana itu. Kebetulan di desa
Lantung ada juga sepupu, Raden Mangi, yang bernama Dea Angge. Dea Angge telah
bermukim di temp at itu selama dua puluh tahun.
Malam itu
Lalu Mangi bermimpi bertemu dengan bidadari, bidadari itu memberikan’ sekuntum,
bunga. Lalu Mangi menerima bunga itu seraya menciumnya.
Betapa harum bunga itu. Tetapi tiba-tiba bunga terlepas dari tangan dan
terjatuh ke dalam laut. Di saat akan mengambil kembali, bunga itu tiba-tiba
menjelma menjadi sebuah perahu. Perahu itu dibawa ombak ke tengah laut. Tetapi
mimpi itu tidak diceriterakan kepada siapa pun. la takut mendengar berbagai
penapsiran tentang mimpi itu.
Akhimya dengan singkat diceriterakan waktu subuh pun
menjelang. Salampe sudah mempersiapkan kuda tunggangan untuk Lalu Mangi dan
untuk dirinya. Lalu Mangi memakai pelana merah menyaladan sanggahan kaki baru.
Sebelum berangkat Raden Mangi meninggalkan pesan. untuk kedua anak itu.
“Baik-baik
di negeri orang anakku. Dan Salampe, jaga Lalumu baik-baik.”
“Dea, akan
hamba jaga sebagaimana biasa.” Ibu Lalu Mangi pun ikut memberikan
nasehat.
“Hati-hati di jalan anakku. Bawalah .azimat ini agar
kalian tidak digigit ular berbisa atau disengat kalajengking.” Sudah itu Lalu
Mangi bersujud di kaki ibu bapaknya. Demikian pula Salampe.
“Bela Lalumu jika ada yang mengganggunya.” “Dea, tak
usah dikhawatirkan.”
“Kami pamit ayah bunda.” Lalu Mangi mohon doa restu
terhadap orang tuariya. Sesudah itu kedua anak itu turun dari rumah panggung
diantar oleh Raden Mangi dan istrinya. Perbekalan untuk perjalanan dimasukkan
ke dalam karung dan menjadi bebar, kuda Sabane. Kuda Lalu Mangi meringkik terus. Rupanya ia ingin segera
berangkat.
Akhirnya
berangkatlah mereka itu, diiringi oleh cucuran air mata ibunya. Baru kali ini
mereka berpisahjauh.
Dalam
perjalanan itu Salampe berceritera dan Lalu Mangi asyik mendengarnya.
Kebanyakan Yang diceriterakan ceritera yang lucu-Iucu. Sudah barang tentu hati
yang sunyi jadi girang. Kini mereka telah tiba di at as sebuah bukit. Kuda
mereka dihentikan sejenak. Kota Sumbawa besar telah hilang dari pandangan mata.
Agak jauh perjalanan mereka. Embun, pagi jernih bening di pucuk rerumputan
sepanjangjalan setapak. Selesai Sarapan mereka melanjutkan perjalanannya.
Dipacunya kuda itu kembali.
Setelah
sehari suntuk dalam perjalanan tibalah mereka di desa Lantung Aimual. Di antara
waktu Isya dan Magrib kedua pemuda itu sudah berada di am bang pintu pagar
desa. Salampe berseru kepada peronda yang sedang asyik
ngobrol di gardu ronda ..
“Hai paman, tolong bukakan pintu pagar ini.” Peronda
itu ‘pun terburu-buru membuka pintu. Salampe turun dari atas kuda. Dihelanya
kuda itu. Kuda Lalu Mangi mengikuti dari belakang.
“Tolong
tunjukkan di mana Dea Angge,” kata Salampe penuh
harap.
“Kalian
siapa?” tanya orang ronda. “Kami dari Sumbawabesar.”
“Dea Angge
itu pamanku, kata Lalu Mangi. “Baiklah, mari ikut kami.
Diantarlah
mereka itu oleh petugas ronda sampai ke rumah Dea Angge. Betapa girang hati Dea
Angge menerima kedatangan kemenakannya itu. Jika malam tiba rumah pamannya am
at ramai dikunjungi para tetangga. Begitu juga penduduk kampung tiada
henti-hentinya mengajak Lalu Mangi dan Salampe bertandang ke rumah mereka. Hal
itu merupakan luapan rasa senang terutama terhadap tamu yang datang dari jauh.
“Agaknya
inilah yang bernama Lala Ila bunga mekar desa Lantung ini.”
Sejak itu setiap pagi Lalu Mangi berjalan-jalan di
samping rumah Lala Ila. Pamannya, telah memberitahu bahwa gadis cantik di desa
itu cuma satu, yaitu Lala lla.
“Paman,
saya ingin berjumpa dan berbicara dengan Lala Ila.” “Mudah, manusia punya
akal,” jawab Dea Angge tegas. “Katakanlah paman, bagaimana jalan yang harus
ditempuh.” “Nanti sore melalui lereng bukititu, masuklah menuju kebun
Lala Ila. Dia biasa mandi di Buen Lalampang yang
terdapat didalam kebun itu. Kadang-kadang juga mandi di Buen Lajenre di tepi
sungai desa Lantung ini.”
“Wah,
bagaimana kalau ketahuan, tentu kami dipukul oleh bapaknya.”
“Kalian
laki-Iaki juga, jangan berpikir sesempit itu. Kalian orang baru di desa ini,
wajar kalau sesat atau keliru jalan.” “Baiklah paman, akan kami coba nanti
sore.”
Ketika
hari sudah senja mereka pergi ke tempat yang telah direncanakan itu. Benar
juga, apa yang telah dikatakan pamannya. Lala Ila sedang mandi di tempat itu
ditemani oleh Nini Saje, pengasuh setianya. Mata Lalu Mangi tak berkedip
sedikit pun menatap tubuh Lala lla. Hati kecilnya berbisik:
“Duh Lala
Ila yang molek, kau adalah jelmaan bidadari yang turun mandi di telaga ini.”
“Ada orang
menoleh dan memperhatikan kita Lala,” ,kata Nini Sale. Cepat-cepat Lala IIa
meraih kain sarungnya sambil menengok ke kiri dan ke kanan. Akhimya bertemu
pandang dengan Lalu Mangi. Lalu Mangi melepaskan senyum simpati. Lala IIa
tunduk malu tersipu-sipu.
“Mengapa
kalian berani masuk ke kebun ini ?”. tegur Nini Saje. “Kami sesat dan keliru
jalan Lala,” jawab? Salampe.
“Kami
ikhlas dan rela mati asal disebabkan tangan Lala.”
“Kami mau
pulang,” kata Nini Saje dengan suara lembut. “Silakan melangkah puteri jelita,”
kata Lalu Mangi. Kemudian sambungnya:
“Selain
kami adakah orang lain yang masuk dalam kebun ini?” Lala Ila menggelengkan
kepala. Hal itu merupakan jawaban atas pertanyaan Salampe.
“Ingin
kudengar jawaban lisanmu Lala.” “Tiada orang lain selain Lalu.”
“Lala, ikhlaskah hatimu jika aku memetik bunga mekar
di kebun ini?” Merekahlah senyum Lala Ila mendengar kata-kata puitis yang
menyentuh batinnya itu. Gadis itu mengerling. Lalu Mangi tak henti-hentinya
menatap wajah bidadari yang mulai beranjak dari tempat itu. Dalam. waktu
sekejap, antara Lala Ila dan Lalu Mangi telah terjalin cinta mesra. Sedikit pun mereka tak dapat saling
melupakan. Begitulah perasaan orang yang sedang bercinta. Segala-galanya
dikorbankan demi cinta. Hati mereka sudah berpadu menuju satu titik.
Sesudah
sembahyang Isya Lalu Mangi duduk santai di beranda rumah pamannya bersama
Salampe.
“Jangan
bimbang lagi Lalu, saya sanggup menyampaikan perasaan Lalu kepada Lala Ila
itu.”
“Terima
kasih Salampe, tiada orang lain yang sanggup menghibur hatiku, selain kau.
Mengenai hubunganku dengan Lala itu hendaklah dirahasiakan. Kalau hal ini
diketahui bisa buruk akibatnya. Orang desa senang mempergunjingkan orang.”
“Tidak mungkin
akan kubuka kepada sembarang orang, kecuali kepada Dea Angge. Hal ini perlu
disampaikan.”
Tiba-tiba
Dea Angge keluar dan langsung duduk di antara mereka. Lalu Mangi
dan Salampe terperanjat.
“Semua
pembicaraan kalian telah kudengar, bukan-rahasia lagi bagiku.”
“Paman
yang baik, saya sudah jumpa dan bicara dengan Lala itu di kebun. Benar kata
paman betapa cantiknya gadis itu. Sejak malam ini aku serahkan masalah ini
kepada paman, hingga hubungan kami terwujud dalam perkawinan. Segala-galanya
aku serahkan kepada paman.”
“Tak usah
khawatir. Penyerahan itu telah dilakukan oleh bapakmu dari Sumbawa.”
“Lenganku
besar dan kuat menantang lawan, jika ada sesuatu menghalangi dan mematahkan
hubungan Lalu dengan si jelita itu.”
“Jangan
terlalu takabur Salampe,” Dea Angge memotong ucapan Salampe.
“Kita uma
berikhtiar namun Tuhanlah yang menentukan berhasil tidaknya usaha dan ikhtiar
itu.”
Sementara
itu istri Dea Angge keluar menghidangkan jagung rebus.
“Silakan
jagung rebus itu. Masih hangat. Jagung itu hasil kebun sendiri. Kebun kita
berdekatan dengan kebun lala Ila,” kata bibinya sambil tersenyum. Betapa girang
hati lah Mangi mendengar kata bibinya. Mereka yang duduk di beranda itu
diliputi bahagia. Dan anak-anak yang bermain di depan rumah panggung itu
semakin banyak, bersorak sorai dalam sinaran eahaya purnama. Antara waktu
Isya dan Magrib Lalu Mangi pergi ke Buen Lajenre ditemani Salampe. Saat itu
Lala Ila juga pergi ke tempat itu. Di sana mereka bertemu memadukasih. Dari
hari ke hari cinta mereka semakin melekat dan tak bisa dipisahkan lagi. Mantap
dan bulatlah tekad mereka untuk sehidup semati dalam sebuah rumah tangga.
Berdasarkan persetujuan Raden Mangi maka Dea Angge pun
pergi meminang kepada Raden Ilung. Pastilah pinangan itu diterima. Memang
pemuda itulah yang dikehendaki untuk dijadikan menantu. Pertunangan mereka yang
dirahasiakan itu kini bakal terwujud sesudah musim memetik kacang hijau,
upacara perkawin an akan dilaksanakan secara besar-besaran.
Pada waktu
itu hubungan dagang antara Sumbawa dengan Ujung Pan dang cukup lancar. Dengan
menumpang perahu layar pedagang-pedagang Ujung Pandang berdatangan di
Sumbawabesar. Selain menjual kain sarung di an taranya juga ada yang membawa
candu. Di tanah Sumbawa pun sudah banyak pengisap candu Pemadat itu kebanyakan
dari kalangan atas termasuk kaum bangsawan. Orang-orang jadikurus, harta benda
habis, hidup tak beraturan akibat” mengisap eandu. Pengisap eandu akhirnya
bukan hanya terdapat di kota saja tetapi desa-desa keeil pun telah kemasukan
pula. Demikian juga di desa Lantung Aimual ada juga pengisap candu, karena
dipengaruhi oleh pedagang-pedagang keliling yang memasuki lorong kampung.
Pada waktu
itu seorang pedagang yang bernama Daeng Joge memasuki desa Lantung, Daeng Joge
ini sangat ramah tamah dan baik hati. Semua orang yang pernah bertemu dan
bercakap-cakap dengan dia pasti terpikat dan bersimpati kepadanya. Barang
dagangannya cepat terjual habis. Begitu hebat daya tarik dan propaganda Daeng
Joge itu. Pada suatu hari Daeng Joge singgah di rumah Lalu Mangi. Ketika itu
pamannya sedang pergi ke ladang. Daeng Joge telah mendengar berita tentang
perkawinan Lalu Mangi dengan Lala Ila yang akan diselenggarakan bulan depan.
“Saya
membawa kain sarung yang baik dan cocok untuk kedua pengantin.” Lipatan kain
itu dibuka dan dipamerkan kepada calon pembelinya. Sarung Bugis yang bermutu
baik dapat digenggam dalam genggaman tangan.
“Berapa
harga kain sarung merah dan yang hijau itu?”
“Murah
saja Lalu. Dang pembayarannya bisa kemudian. Hubungan kita begitu baik. Apa
artinya benda kalau dibandingkan dengan kebaikan.” Maka dibelilah kain sarung
itu oleh Lab Mangi.
“Barang
apa lagi yang dipercikan Lalu?” “Ada minyak wangi?”
“Lebih
dari itu ada Lalu.”
“Berapa
harga minyak wangi itu sebotol?” “Setali saja Lalu.”
“Berikan
saya dua botol.”
“Selain
itu ada barang yang paling cocok bagi pasangan pengantin baru, Orang jadi sehat
dan kuat bila menggunakan obat itu.”
“Bagaimana
bentuknya barang itu?”
Daeng Joge
mengeluarkan bungkusan dari lipatan kain dagangannya. Diangkat dan didekatkan
di hidung Lalu Mangi.
“Inilah
yang bernama candu. Belum hebat orang kalau belum mengisap candu. Sebagian
orang besar di kalangan kaum bangsawan di Sumbawa Besar mengisap candu. Boleh
dicoba Lalu. Sekali coba pikiran kita terbuka, badan jadi sehat, pandanganjadi
terang, pergaulan jadi luas terutama orang-orang besar menyenangi kita.”
“Tidak
usah Daeng Joge, masih banyak kebutuhan lain yang harus kupersiapkan.” Daeng
Joge mengambil candu itu lalu diisapnya dan berkata:
“Tidak
apa-apa. Sudah saya jelaskan tadi, badan kita jadi sehat dan kuat. Wanita tidak
suka kepada lelaki yang badannya lemah dan tidak bergairah. Coba diisap Lalu,
mengenai harganya, tidak usah dipikirkan. Bukankah kita sudah berkenalan dan
berkawan baik. Terserah Lalu saja. Kalau Lalu beruang barulah diselesaikan.
Artinya bisa dibayar kemudian atau dibayar menyusuI.”
“Cukup
sudah Daeng Joge masih banyak keperluan lainku.”. “Lalu terIalu banyak bicara.
Terus terang, saya amat kasihan pada Lalu. lni cobalah, ayo cobalah diisap.”
Karena
bujukan dan propaganda Daeng Joge akhirnya Lalu Mangi tidak berdaya. Maka
diisaplah candu itu. Cepat sekali reaksinya. Badannya tampak segar bugar.
Pikirannya terang benderang. Lalu Mangi tersenyum simpul.
“Benar juga khasiatnya terasa, badan jadi segar.
“Nah, apa
kata saya. Saya tidak bohong.
“Ini satu
bungkus lagi, simpan baik-baik.”
Sesudah
itu Daeng Joge berangkat menjajakan barangnya masuk kampung ke luar kampung:
Pelosok-pelosok desa di Kecamatan Ropang sebahagian besar telah dijelajahi.
Salampe
tidak berubah niatnya. Lalu Mangi dengan Lala Ila
harus
kawin sesuai dengan rencana yang ditentukan. Salampe menjadi penghubung antara
kedua mereka yang sedang bercinta kasih itu. Salampe selalu membawa suara warna
cerah sehingga pasangan remaja itu selalu diliputi suasana senang dan bahagia.
Keadaan Lalu Mangi sekarang jauh berubah. Kini ia jadi pemadat. sekarang ke
luar rumah. Murung dan menyendiri dalam kamar. Malas menjenguk kekasih. Setiap
hari lumat Daeng Joge membawa candu. Lalu Mangi lebih banyak berhutang dari
pada membayar kontan. Kalau pikirannya kacau, badannya lemah, cepat-cepatlah ia
mengisap candu. Badan yang layu pun segar kembali. Itulah kerja Lalu Mangi
setiap hari. Pikirannya tidak lagi sepenuhnya tertuju pada kekasihnya. Hidupnya
dikuasai dan dipengaruhi oleh candu. biaya yang dipersiapkan untuk pelaksanaan
p’erkawinan sudah habis. Utang pada Daeng Joge semakin banyak. Tak
mungkin terbayar lagi. Tiap-tiap hari Daeng Joge datang menagih. Lalu Mangi
terus meminta candu dengan perhitungan harganya dibayar kemudian. Daeng Joge
masih memberikan kesempatan berpikir pad a Lalu Mangi dengan catatan semua
utangnya harus diselesaikan pada waktunya. Kini kesehatannya tidak normal,
badannya kurus kering. Walaupun begitu pamannya terlalu memanjakan
kemenakannya. Keinginan Lalu Mangi terpenuhi. Begitu juga Salampe, apa yang
dikehendaki Lalu Mangi segera diusahakan dan dikabulkan. Salampe tetap
menanamkan kepercayaan pada Lala Ila serta meyakinkan gadis itu bahwa cintanya
Lalu Mangi tak pernah luntur. Sebagaimana biasa Salampe pergi
bertandang ke rumah Lala Ila.
“Salam mesra dari kekasihmu, Lala.” “Mengapa Lalumu
enggan ke mari lagi?’ “Ia
tetap mengingatmu Lala.”
“Maksudku
mengapa ia tidak pernah datang?” “Lalu itu akhir-akhir ini sering sakit.”
“Sakit apa
yang dideritanya Salampe? ”
“Badan
lemah, kepala pusing. Lelaki atau wanita kata orang, apabila menghadapi hari
perkawinannya sering sakit.”
“Sampaikan
salamku padanya. Harapanku kalau kesehatannya normal kembali, agar berkenan
datang seperti biasa. Ibu Bapakku selalu menanyakan dia.
Memang
benar agak lama Lalu Mangi. tidak tampak di tengah keluarga Raden Ilung.
Setelah Salampe menyerahkan surat dari Lalu Manii kepada Lala Ila, ia pun
segera beranjak dari situ.
Lalu Mangi semakin resah gelisah. Daeng Joge
terus-menerus menagih. Biar berhektar-hektar tanah persawahan dijual belum bisa
menutupi utangnya yang begitu banyak. Kepalanya jadi pusing memikirkan masalah
yang tak terpecahkan itu. Kemudian ia mengambil keputusan yang sangat
bertentangan dengan hati nuraninya.
“Daeng
Joge, untuk kesekian kalinya kuminta pengertian Daeng, aku tak bisa melunasi
utangku.”
“Hutang
harus ditagih. Hari ini menurut perjanjian adalah saat penyelesaian Utang.
jangan ditunda-tunda lagi. Saya telah memberi kesempatan pada Lalu. Harus
dilunasi sekarang.”
“Sekarang
ini belum bisa kupenuhi. Terus terang aku tidak punya uang.
Aku bisa melunasi hutangku dengan cara lain.”
“Bagaimana,
ya, asal cocok dengan keinginan, saya akan memenuhinya. Ingat, apalah arti
hutang kalau dibandingkan dengan malu berkepanjangan.
Sebelum
kata-kata itu dilahirkannya mata Lalu Mangi berkaca-kaca. Air matanya meleleh.
Begitu berat memikirkan hutangnya yang dibarengi dengan malu. Akhirnya Lalu
Mangi berkata, sekujur tubuhnya bergetar.
“Kuserahkan
kekasihku kepadamu, asalkan kau tunjang lagi
dengan
uang.”
“Benarkah
ucapan itu keluar dari hati yang ikhlas?” “Ya. Yang penting hutangku lunas.”
“Apakah
Lala itu tidak berpaling melihatku?”
“Ah tidak.
Asal kautunjang aku dengan uang setinggi badan Lala itu.”
Betapa
girang hati Daeng Joge. Hati siapa takkan senang mendapat gadis cantik seperti
bidadari.
“Baiklah
Lalu. Uang itu bisa diterima di atas perahu, setelah Lala itu berada di atas
perahu pula. Ingat, manusia yang baik adalah apabila ia segera menepati
janjinya itu.”
“Aku
adalah lelaki yang tidak mau mempermainkan kata-kata.” “Kapan gadis itu dibawa
ke pelabuhan?”
“Besok atau lusa malam.”
“Baiklah. Kesimpulannya gadis itu saya terima di atas
perahu.” “Ya. Daeng bisa mendapatkan gadis itu di atas perahu.”
Setelah
kepergian Daeng Joge betapa susah, hati Lalu Mangi.
Ia menyesali nasib malang yang menimpa dirinya. Semua hal yang merisaukan hati itu
disampaikannya kepada Salampe. Pada mulanya Salampe kaget. Ia tidak sependapat
dengan Lalu Mangi. Setelah Lalu Mangi menceriterakan kembali terutama mengenai
kegelisahan yang dideritanya, akhirnya Salampe terpaksa mengiakan kehendak
Lalunya itu’. Kedua anak muda itu kini, dilanda duka yang menyedihkan. Selepas
Isya Lalu Mangi pergi ke Buen Lanjenreo Salampe menyusul dari belakang. Di
tempat itu Lalu Mangi bersua dengan Lala Ila. Lala Ila sangat terkejut melihat
calon suaminya begitu kurus. Mukanya pucat pasi.’”
“Lala yang
molek, kasihanilah aku, aku begitu malu terhadap keluargamu. Hingga hari ini
aku belum punya uang biar sesen pun, sedang pelaksanaan perkawinan kita sudah
di ambang pintu.”
“Apa maksud Lalu dengan.kalimat itu?”
“Kalau Lalu masih mencintaiku sebaiknya kita kawin
lari saja ke Sumbawa.”
“Kawin lari? Aku takut. Sungguh, tidak ada berani
mempuh jalan yang bertentangan dengan adat itu.”
“Dengan jalan ini pertemuan jodoh kita bisa terwujud. Tanpa
melalui
cara ini, maka tertutuplah segala kemungkinan.”
Lala Ila
diam sejenak.
“Kalau itu
yang dirasakan baik, ya aku ikuti kemauan Lalu.” Lala Ila menembangkan sebait
Lawas.
“Kepada
siapa kusesali, nasib malang menimpa diri, Maut merenggut daku pasrah.”
Dengan
spontan disambut oleh Lalu Mangi:
“Mengapa
aku memaksa dinda, Peribadiku tersungkur ke Lembah Yina, Padamu jua tempat
bergantung.”
Mereka saling tangisi di tepi Buen Lajenre. Air mata
kedua insan itu berlinang dan jatuh ke dalam Buen Lajenre. Air Buen Lajenre
meluap ke luar. Untuk kesekian kalinya Lala Ila menembang lawas.
“Padamu jua hatiku pasrah, Hasrat cintaku kau
sia-siakan, Duhai banyak insan ingkar janji.”
Dijawab
lagi oleh Lalu Mangi:
“Tiada
lagi masalah bagiku, Keyakinanku sudah mantap, Mungkin hatimu masih goyah.
Karena
keharuan yang mendalam, kepala gadis itu jatuh terkulai di haribaan kekasihnya.
Jemari Lalu Mangi mengelus-elus rambut kekasihnya yang panjang terurai.
Mereka berdekapan. Rasa cinta suci mengalir ke sekujur tubuh insan yang
berkasih-kasihan itu, Air mata mereka tak bisa dibendung lagi. Sepasang
bayangan tercermin di kolam.
‘Besok malam’ kujemput kau kekasihku, ucap Lalu Mangi
setengah berbisik. Lala
Ila menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Air mata harum terus merembes ke
luar. Ketika malam telah larut barulah Lala Ila meninggalkan tepian Buen
Lajenre. Dalam perjalanan pulang gadis itu ditemani Nini Saje.
Akhirnya
tibalah hari . yang dinantikan. Salampe tampak menunggang kuda coklat
kehitam-hitaman memboneeng Lala Ila.
“Mengapa
Lalumu tidak nampak Salampe?” “Sebentar ia akan menyusul kita Lala.”
Lala Ila
menengok ke belakang. Sepi. Tiada seorang pun yang melintas. Perasaannya redup.
Harapannya pudar. Mereka tiba di pelabuhan. Lala lla dinaikkan ke atas perahu.
Diterima oleh Daeng Joge. Lala lla disuruh berdiri, uang ditumpukkan setinggi
badannya. Uang itu diserahkan kepada Salampe. Menangislah Lala lla dan
meneteslah air mata. Salampe, tak sanggup menahan kesedihannya menyaksikan
nasih malang yang menimpa Lala lla. Daeng Joge tersenyum simpul karena siasat
yang direncanakannya berhasil. Dia mendekati Lala lla dengan bujukan dan
rayuan. Mengertilah Lala Ila kalau dirinya masuk perangkap. Kemudian ia
menelungkupkan badan, sembari menangis. Ia meronta-ronta dan tangisnya semakin
melengking. Salampe berdiri di tepi pantai.
“Sungguh
baik benar hati Lalumu itu, sampaikan padanya Lawas ini: Suara hatiku yang
terakhir.
Meski
segalanya ini kupasrahkan padamu, Kalau kanda beralih keyakinan,
Rela kumati dari hidup menanggung malu.”
Perahu pun mengembangkan layar. Lala Ila
meronta-ronta dan berteriak:
“Tolong aku Salampe. Jemput aku kekasihku.”
Tiba-tiba turun hujan deras dan angin kencang. Alam
pun gelap gulita. Perahu
Daeng Joge miring. Layar robek-robek. Badai semakin menggila. Perahu diempaskan
arus dan terdampar di atas batu karang.
Tempat
perahu itu kandas sekarang menjadi sebuah pulau kecil, yang bernama dan
terletak di Selat Alas.
Dan hingga
saat ini mata air Buen Lajenre tak pernah mengalami kekeringan, walaupun dalam
musim kemarau yang amat panjang. Hal itu disebabkan karena air Buen
Lajenre itu merupakan penjelmaan air mata Lalu Mangi dan Lala Ila.
Sedangkan Lalu Mangi mengalami kesengsaraan yang
berkepanjangan dan meninggal dunia dalam keadaan yang menyedihkan. Pusaranya terletak di Unter Kemang
di bagian barat desa Lantung Aimual.
Please Share ---->
2 comments:
Berarti kamu harus ngisap candu juga biar kurus, Nam :p Laen kali, edit dulu baru dipublikasikan yaak -_- Soalnya masih banyak yang Typo. Udah itu doang -_-
Iyeiye.. oke makasihlah buat sarannya ;)
Post a Comment